Sunday, 9 November 2014

Methicillin – Resistant Staphylococcus aureus (MRSa)

  Methicillin – Resistant Staphylococcus aureus (MRSa)

 
Gambar 1. Pengamatan MRSa di bawah mikroskop

Methicillin – Resistant Staphylococcus aureus (MRSa) merupakan bakteri patogen utama penyebab infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus bersifat parah dan sulit diterapi karena bakteri ini resisten terhadap segala antibiotik beta laktam.
Antibiotika penisilin adalah antibiotika dengan struktur bangun utama yang terbentuk atas sebuah cincin beta laktam. Cincin beta laktam ini menjadi kunci bagi penisilin dan obat obatan turunannya untuk menjalankan fungsinya sebagai bahan antibakterial. Apabila cincin beta laktam ini dipecah oleh sebuah enzim yang disebut dengan beta laktamase, maka penisilin dan obat obatan turunannya akan kehilangan daya antibakterialnya. Enzim beta laktamase tersebut diproduksi oleh bakteri, terutama bakteri gram positif, seperti Staphylococcus aureus. Enzim beta laktamase terdiri dari atas dua kelompok utama, yaitu penisilinase dan cephalosporinase.
Penemuan di tahun 1950-an menunjukkan bahwa strain tertentu dari Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penisilin memberikan dorongan untuk mengembangkan penisilin semisintetik. Yang pertama adalah methicillin, yang efektif terhadap organisme resisten penisilin karena tidak dipecah oleh enzim β-laktamase.

 
 






                         Gambar 2. Struktur Methicilin


Resistensi terhadap antibiotika meticillin, disebabkan oleh perubahan protein yang dikenal dengan istilah penicillin binding protein (PBP) oleh materi genetic yang disebut Methicillin-resistant gene (MecA). penicillin binding protein 2a (PBP2a) adalah sebuah penicillin binding protein (PBP)  yang telah mengalami perubahan afinitas. Perubahan afinitas tersebut menyebabkan perubahan sifat PBP yang seharusnya mampu berikatan dengan penicilin menjadi berubah, sehingga tidak mampu berikatan. Gen MecA tersebut dapat dipindahkan dari satu spesies bakteri ke spesies lainnya. Sehingga, membuat bakteri yang semula peka terhadap penisilin menjadi resisten. Resistensi bakteri yang terjadi karena adanya pertukaran gen, seperti hal ini disebut dengan acquired resistance.

PEMBAHASAN

Untuk melakukan uji resistensi Staphylococcus aureus terhadap meticillin, digunakan metode paper disk yang termasuk dalam diffusion test. Sebelum melakukan uji resistensi, dilakukan isolasi terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Isolasi dilakukan dengan cara mengoles luka yang mengandung lendir dengan cotton swab steril. Kemudian menyebarkannya dalam media Nutrient Agar (NA). Dalam hal ini agar digunakan sebagai pemadat karena sifatnya yang mudah membeku dan mengandung karbohidrat yang mengandung galaktam sehingga tidak mudah diuraikan oleh mikroorganisme.

Setelah memperoleh biakan dari bakteri tersebut, dilakukan pemeriksaan pada  sampel untuk menguji apakah mengandung bakteri Staphylococcus aureus. Pemeriksaan pertama yang dapat kita lakukan adalah uji manitol. Uji manitol digunakan untuk melihat kemampuan bakteri tersebut dalam memfermentasikan karbohidrat. 

Hasil positif pada uji manitol Staphylococcus aureus

Uji selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah uji hemolisin. Salah satu ciri dari bakteri Staphylococcus aureus adalah kemampuannya untuk menghemolisis sel darah merah karena memiliki enzim hemolisin. Maka uji ini akan positif yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni.

Hasil positif pada uji hemolisin Staphylococcus aureus

Ketiga adalah karakterisasi morfologi Staphylococcus aureus yang dapat dilakukan dengan pewarnaan gram, dan melihat susunan juga bentuk sel. Staphylococcus aureus termasuk dalam jenis bakteri gram positif sehingga hasil akhir dari uji ini jika diamati di bawah mikroskop akan terlihat bentuk bergerombol seperti anggur, berbentuk bulat dan berwarna ungu.

Pengamatan mikroskopik pewarnaan gram Staphylococcus aureus

Uji lainnya yang bisa digunakan adalah uji katalase. Pada uji katalase, bakteri dikatakan positif apabila bisa menghasilkan gelembung-gelembung oksigen karena adanya pemecahan H2O2 (hidrogen peroksida) oleh enzim katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Komponen H2O2 ini merupakan salah satu hasil respirasi bakteri aerobik di mana hasil respirasi tersebut dapat menghambat pertumbuhan karena bersifat toksik bagi bakteri itu sendiri. 

Hasil positif pada uji katalase Staphylococcus aureus

Uji koagulase digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus dengan Staphylococcus yang lain. Staphylococcus aureus dapat menghasilkan koagulase, yaitu berupa protein yang menyerupai enzim yang apabila ditambahkan dengan oksalat atau sitrat mampu menggumpalkan plasma akibat adanya suatu faktor yang terdapat di dalam serum. Hasil positif mengisyaratkan bahwa biakan tersebut adalah Staphylococcus aureus.
Selanjutnya dilakukan uji resistensi dengan metode paper disk. Media yang digunakan dalam metode ini adalah Mueller Hinton Agar (MHA). Mueller Hinton Agar merupakan media diferensial yang digunakan untuk melakukan uji sensitifitas terhadap beberapa antibiotik. Formula Mueller Hinton Agar dalam satu liter air murni adalah sebagai berikut: Beef (300.0 g), Casamino acid, technical (17.5 g), Starch (1.5 g), Agar (17.0 g). pH MHA harus berkisar antara 7,2 dan 7,4 pada suhu kamar setelah pemadatan dan harus diuji ketika media pertama disiapkan. Jika pH<7,2 obat-obatan tertentu akan kehilangan potensi (aminoglikosida, kuinolon, makrolid), sementara agen lain mungkin tampak memiliki aktivitas yang berlebihan (tetrasiklin). Jika pH > 7,4 hasil yang sebaliknya dapat terjadi. Media ini dipilih karena dapat diterima dari batch ke batch untuk reproduktivitas uji kerentanan, dan berasal dari pengalaman pengujian terdahulu yang menggunakan media ini akan menghasilkan berbagai data yang cukup akurat dibandingkan menggunakan media lain.
Mueller Hinton Agar merupakan medium basis agar standar untuk pengujian sebagian besar organisme bakteri, dengan suplemen dan substitusi tertentu yang diperlukan untuk pengujian organisme yang lebih rumit. Karena agen antimikroba berdifusi ke segala arah dari permukaan plat agar, maka ketebalan agar mempengaruhi gradien konsentrasi obat antimikroba. Jika agar terlalu tebal, ukuran zona akan menjadi lebih kecil; jika terlalu tipis, zona inhibisi akan lebih besar.



No comments: